APA SEBENARNYA YANG
TERJADI DALAM
OTAK KITA?
OTAK KITA?
Sumber: The Observing One
Karya: Ahmed Hulusi
Alih Bahasa: T. J. Sagwiangsa
Dalam The
Holographic Universe (Jagat Holografik), Michael Talbot menyajikan teori-teori Bohm dan Pribram; dan merujuk pada
cara pandang baru terhadap dunia yang mereka usulkan, beliau mengatakan:
“Otak
kita secara matematik menyusun realitas obyektif dengan menerjemahkan frekuensi
yang pada akhirnya merupakan proyeksi-proyeksi dari dimensi lain, suatu tatanan
keberadaan yang lebih dalam di luar ruang dan waktu: Otak merupakan hologram
yang terbungkus dalam jagat holografik.”16
Mari kita coba fahami implikasi dari pandangan
istimewa ini. Pertama-tama, mari kesampingkan masalah waktu dan ruang, dan
fokus pada kata-kata:
“.
. . tatanan keberadaan yang lebih dalam dari dimensi lain.”
Tatanan ‘yang lebih dalam’ merupakan tatanan di
kedalaman keberadaan kita; esensi kita, dalam istilah Sufisme, Keberadaan Absolut!
Di luar keberadaan ilusi yang kita rujuk ketika
kita menyebutnya ‘aku’, ada ‘aku’ yang lain, yang sama untuk semua
keberadaan, ‘aku’ yang Absolut, Diri yang Absolut!
Otak, karenanya, merupakan konverter (pengubah)
frekuensi yang merupakan proyeksi-proyeksi dari ‘aku’ Absolut ini, yang
memproyeksikan frekuensi-frekuensi dari makna-makna implisitNya yang ingin Dia ungkap!
Saya mesti memberi penekanan lebih akan
pentingnya pernyataan berikut:
“Allah
telah menciptakan setiap manusia untuk tujuan khusus. Hanya dengan memenuhi
fitrah alami mereka, dan dengan mengikuti alur yang paling cocok dengan susunan
mereka, orang-orang dapat memenuhi tujuan unik mereka. Pemenuhan syarat inilah
yang menjadikan penghambaan mereka tercapai!”
Jika kita benar-benar dapat memahami makna dari
dan meresapi kebenaran ini, kita tidak akan lagi merasa marah, tertekan,
terganggu atau bersikap kritis! Karena kita akan sadar terhadap realitas bahwa
setiap orang hanya dapat mengungkapkan fitrah alami mereka, baik fitrah itu
selaras ataupun bertentangan dengan fitrah kita! Adalah hal yang konyol
mempertanyakan motivasi orang lain, bagaikan bertanya kepada hati mengapa ia
tidak memompa darah seperti halnya jantung!
Sungguh, kebenaran ini merupakan inti dan
rangkuman dari Sistem dan Tatanan sebagaimana dijelaskan Al-Qur’an.
Selama kita masih gagal untuk memahami realitas
ini, pengakuan keimanan kita kepada Tuhan adalah palsu; keyakinan kita hanyalah
imitasi.
Keyakinan sejati adalah buah dari pemahaman,
internalisasi dan aplikasi terhadap realitas ini.
Pertama-tama, seorang calon Sufi mesti meninggalkan amarahnya! Karena
segera setelah ia marah oleh sesuatu hal, maka ia telah meninggalkan dan
menolak Allah! Masing-masing individu hanya dapat melakukan apa yang ada dalam
program ciptaannya. Marah karena sesuatu tak ada bedanya dengan marah karena
fitrah yang ditetapkan Allah kepadanya, yakni ketetapan Allah.
Jika Allah berkehendak untuk menciptakannya
dengan program tertentu, bagaimana kita dapat mempertanyakan Ilmu dan Kehendak
AbsolutNya? Jelas bahwa Allah bebas memilih untuk menentukan susunan tertentu
pada individu tersebut. Berpendapat bahwa orang tersebut salah dibuat, atau
cacat atau tidak tepat, jelas merendahkan, meragukan dan bahkan menolak
Ketuhanan dari Allah!
Pertanyaan:
Apa
makna mimpi? Apakah mimpi layak berada dalam Sistem ini? Bagaimana pandangan
kita terhadap penglihatan kita dalam mimpi, apakah ruh kita meninggalkan badan
dan pergi ke suatu tempat?
Istilah ‘perjalanan
astral’ menunjukkan keadaan otak dimana emisi gelombang radar tertentu
memroyeksikan gambar tertentu, sehingga kita dapat melihat dan mengalami hal
atau kejadian tertentu.
Pandangan umum menyebutkan bahwa ruh meninggalkan
tubuh ketika kita tidur, melakukan tur kecil dan kembali lagi ke dalam tubuh
saat bangun. Tidak begitu! Ruh tidak meninggalkan tubuh atau pergi ke suatu
tempat! Mereka yang tercerahkan, yang mampu mengaktifkan mata ke tiganya,
memiliki kemampuan untuk mengarahkan gelombang radar mereka ke lokasi tertentu
dan melihat tempat tersebut melalui gambar yang diproyeksikan balik ke otak
mereka.
Mereka yang tak acuh terhadap mekanisme proses
ini berpikir bahwa ruh sebenarnya meninggalkan tubuh mereka dan pergi ke suatu
tempat.
Ruh hanya dapat meninggalkan tubuh dalam dua
cara:
1. Kematian
2. Penguasaan (fath)
Mereka yang benar-benar tercerahkan, yang telah
mampu menguasai jiwa mereka, yang telah ‘mati
sebelum ajal’ dan mencapai keadaan Haqqul
yaqiin (Kepastian Realitas), merupakan orang-orang yang bisa melihat tanpa
keberadaan tubuh. Sedangkan semua yang lainnya bersandar pada gelombang radar
yang dipancarkan otak mereka!17
Gelombang
radar ini bisa berupa keajaiban, yang didasarkan dan
diarahkan kepada dimensi-dimensi di atas Bumi,
atau sebagai fenomena yang didasarkan dan diarahkan kepada dimensi-dimensi Surga, Neraka, dan Alam Antara. Juga bisa diarahkan kepada dimensi-dimensi yang lebih
rendah, bergantung pada kapasitas ekspansi dari otak mereka.
Sebagai contoh, ketika kita bermimpi mengenai
malaikat, kita melihat mereka dalam beragam bentuk dan tampilan yang telah kita
kenal. Dalam keadaan aslinya, malaikat
tidak memiliki ‘bentuk’; mereka hanya memiliki frekuensi tertentu terkait
dengan fungsi khusus mereka. Dengan kata lain, malaikat adalah ‘getaran
frekuensi tinggi’. Ketika salah satu
dari frekuensi ini mencapai otak kita, kita membandingkannya dengan pangkalan
data yang ada dan membacanya berdasarkan frekuensi terdekat yang bisa kita
temukan, lalu memberikan tampilan gambar padanya.
Ketika sebatang pohon berbicara dalam mimpi kita,
misalnya, itu sebenarnya malaikat; getaran frekuensi tinggi yang dibaca dan
ditafsirkan sebagai pohon, karena itulah frekuensi terdekat yang bisa ditemukan
otak dalam pangkalan datanya!
Serupa dengan itu, ketika beragam frekuensi
mencapai otak, sebuah mesin pelacak otomatis diaktifkan untuk menemukan
pasangan yang paling bersesuaian untuk ‘mendefinisikan’nya. Bentuk apapun yang
telah diberikan kepada pasangan yang paling sesuai ini tak pernah berubah.
Karenanya, kita melihat mimpi dalam simbol-simbol dan bukan dalam keadaan
aslinya.
Jika kita melangkah lebih jauh. . . Nabi Muhammad (saw) mengatakan:
“Manusia
dalam keadaan tidur dan akan dibangunkan oleh kematian!”
Apa ini artinya? Jika kehidupan ini bagaikan
tidur, mestinya kita semua ini sedang bermimpi! Dunia ini, dan segala sesuatu di dalamnya, bagaikan sebuah mimpi jika
dipandang dari sudut akhirat. . . Segala yang kita alami di sini, rasa
sakit, kegembiraan, harta kita, apa yang kita cintai. . . semuanya akan terasa
mimpi ketika kita bangun di akhirat dengan kematian. . . Dan seperti halnya
kita memandang mimpi, dalam bentuk simbol-simbol sebagai akibat mekanisme
pengubahan frekuensi oleh otak, demikian pula kita memandang segala sesuatu
dalam dimensi ini dengan proses yang serupa.
Semua ini ditegaskan oleh ahli fisiologi syaraf
terkemuka di dunia, profesor Karl Pribram dari Universitas Stanford dan ahli
fisika terkenal, David Bohm.
Pertanyaan:
Bisakah
orang-orang memiliki persepsi yang berbeda terhadap obyek yang sama?
Jika frekuensi yang sama sampai kepada dua orang
yang berbeda dengan pangkalan data yang sama, maka evaluasi yang dihasilkan
akan sama. Itulah tepatnya mengapa kita semua mempersepsikan dan melihat obyek
yang sama dengan cara yang sama, karena kita semua mempunyai mekanisme persepsi yang sama dan telah
dikondisikan agar berfungsi dengan cara yang sama!
Spektrum yang nampak, yakni kisaran frekuensi
yang dapat dideteksi mata manusia, adalah tentu. Baik frekuensi yang sama itu
mencapai satu mata ataupun 1.000 mata yang berbeda, hasilnya akan selalu sama.
Mereka semua akan melihat hal yang sama, karena semuanya akan memroses data
yang masuk dengan menggunakan sistem yang sama.
Pertanyaan:
Mengapa
buta-warna menghasilkan persepsi warna yang berbeda?
Ini karena, dalam hal buta-warna, ada perbedaan dalam mekanisme otaknya. Orang yang buta warna memroses frekuensi yang
masuk secara berbeda dibanding orang yang tidak buta warna. Ini tidak berarti
bahwa mereka menerima frekuensi yang berbeda; mereka memiliki otak yang
berbeda! Pangkalan data lah, yakni akumulasi data di sepanjang hidup seseorang,
yang menentukan kapasitas otaknya.
Ketika kita lahir, pangkalan data kita hanya
terdiri dari data genetik dan data astrologik, namun sejak
dilahirkan, kita selalu rentan terhadap informasi baru, pengkondisian baru, dan
data baru. Itulah sebabnya mengapa bayi yang baru lahir memiliki visi yang
terbatas. Bukan karena kurangnya penglihatan, namun karena kurangnya data di dalam otak untuk ‘mengevaluasi’ informasi.
Kita hanya dapat memroyeksikan ke luar apa yang
kita miliki ke dalam. Kemampuan kita untuk membaca masukan data tertentu hanya
bergantung pada pangkalan data yang telah dibangun sejak kita lahir.
Sebagai contoh, hasrat menggemari, dan
ketertarikan pada kecantikan, merupakan suatu ciri dari otak. Hal itu bisa dihubungkan
kepada sifat-sifat genetik atau pengaruh-pengaruh astrologikal, seperti posisi
Venus dalam diagram kelahiran seseorang. Bagaimanapun juga, cara mewujudnya kecenderungan
ini di Iran berbeda dengan di Afrika, di Jepang atau di Amerika Serikat. Bergantung
pada pengkondisian lingkungan
membentuk pangkalan data seseorang, sifat-sifat yang semula sama pada seluruh
kemanusiaan, selanjutnya mewujud melalui banyak cara.
Pertanyaan:
Apakah
‘Surga’ dan ‘Neraka’ merupakan frekuensi-frekuensi khusus?
Semua informasi atau ‘data’ dalam pangkalan data
kita merupakan frekuensi-frekuensi khusus.
Pengalaman kesenangan surgawi seseorang berbanding langsung dengan sekaya dan
selengkap apa pangkalan data orang tersebut, dan karenanya menghasilkan
tingkatan Surga yang berbeda!
Inilah sebabnya mengapa Nabi Muhammad (saw) mendorong pengejaran ilmu dengan kata-kata
beliau:
“Carilah ilmu sejak buaian hingga liang lahat”, karena raihan ilmu lah yang meningkatkan kapasitas pangkalan data yang ada di dalam otak kita dan terangkat kepada jiwa kita. Pengalaman hidup kita sesungguhnya merupakan hasil dari informasi yang terkandung dalam pangkalan data ini. Kualitas dan banyaknya ilmu yang kita pasok ke dalamnya lah yang mendefinisikan ‘pengalaman’ hidup kita, apakah itu seperti-neraka ataupun seperti-surga.
Para Sufi mengatakan: “Tinggalkanlah berbicara dengan orang bodoh!”
Siapakah orang bodoh itu?
Mereka
yang tidak tahu dengan kebodohannya!
Mengapa harus ‘meninggalkannya’? Sederhana;
karena orang semacam itu tidak menambah apapun kepada para pencari ilmu. Para
pencinta ilmu mesti berteman dengan mereka yang ilmunya lebih tinggi dan lebih
dalam dari dirinya, dan hanya mendekati mereka yang di bawahnya dengan maksud
berbagi ilmu.
Pencinta ilmu berusaha untuk mengumpulkan ilmu dengan semangat yang sama dengan pencinta dunia yeng berusaha mengumpulkan uang dan kekayaan, dengan mengabaikan kehidupan akhirat. Ini karena para pengejar ilmu mengetahui bahwa ia tidak akan mendapatkan ilmu lebih banyak untuk mengembangkan jiwanya lebih jauh setelah ajal tiba. Itulah sebabnya mengapa penting bagi pencari ilmu untuk memperhatikan kata-kata gurunya: “Carilah ilmu sejak dari buaian hingga liang lahat”, “Carilah ilmu walau ke negeri Cina”, “Bertemanlah dengan mereka yang ilmunya lebih tinggi dari kalian!”
Ilmu yang handal adalah ilmu yang berguna setelah
kematian, sedangkan ilmu yang tak
berguna tidak bermanfaat di kehidupan akhirat. Ketika mereka yang
tercerahkan mengingatkan kita terhadap pengejaran ilmu yang tak berguna, mereka
bukannya melarang sama sekali ilmu demikian, melainkan menasihati agar tidak
terikat dan rusak olehnya. Karena semua ilmu yang ditemui memiliki tujuan dan
tak satupun yang ditemui secara kebetulan.
Semua hal yang dialami oleh penciptaan tercakup
dalam tujuan dan program yang telah ditetapkan. Tidak satupun tanpa alasan.
Kita semua dilengkapi dengan program yang diperlukan untuk memenuhi tujuan yang
dikehendaki Pencipta bagi kita. Kita tidak dapat melaksanakan sebuah kode yang
tidak tercatat dalam program kita!
Mari saya contohkan apa yang terjadi pada diri
saya. . .
Ketika usia saya sekitar 15-18 tahun, saya
berpikiran bahwa saya adalah orang berintelejen tinggi. Saya sering merasa
heran mengapa Allah menghendaki saya terlahir di Istambul, bukannya di negara
yang lebih berkembang seperti di Eropa atau Amerika Serikat. Bahkan saya pikir
akan lebih tepat jika saya lahir di Mekah atau Madinah. Kebijaksanaan apa di
balik kehendak ini?
Setelah tahun-tahun berlalu, saya sadar bahwa
jika saya lahir dan dibesarkan di Mekah atau Madinah, pemahaman agama saya
mungkin tidak akan melewati pemahaman ‘harfiah’, membuat saya tak mampu untuk
membaca makna simbolik dan kiasan dari agama. Sebaliknya jika saya lahir di
Barat, saya mungkin menjadi ilmuwan yang hebat, namun terjauhkan dari ilmu yang disampaikan Nabi Muhammad (saw).
Namun Allah menghendaki saya lahir di Istambul, sebuah kota diperbatasan Timur dan Barat, tepat di tengah kedua dunia! Jadi, saya mendapat manfaat dari ajaran-ajaran Timur dan sumberdaya-sumberdaya dari Barat, membentuk gabungan dari keduanya. Mungkin saya akan terjauhkan dari ini jika tempat lahir saya pada peta sedikit lebih ke kiri atau sedikit lebih ke kanan!
Seperti
itulah Allah memberikan lingkungan dan sumberdaya yang diperlukan untuk
memenuhi tujuan unik dari setiap individu.
Semua itu berdasarkan pandangan yang bergerak dari Esensi ke arah luar.
Jika kita memandangnya dari arah sebaliknya, dan
melihat Esensi dari realitas luar,
kita bisa berkesimpulan terbalik bahwa orang-orang dalam kehidupan kita,
lingkungan kita, dan pekerjaan kita semuanya merupakan pertanda berita bagus
atau bencana.
Jika dipandang dengan cara ini, hal ini menarik untuk
dipikirkan! Seseorang tak lagi merasa perlu untuk mengatakan ‘Saya berharap. . .’ karena ia sadar
dengan keyakinan bahwa segala sesuatu akan dan selalu berjalan sesuai dengan
ketetapan! Tidak ada gunanya mengatakan ‘Andai
saja saya tidak melakukan kesalahan itu di masa lampau’. Sungguh, kesalahan
itu mesti dilakukan, pelajarannya mesti diambil, emosinya mesti dijalani, dan
segala sesuatu mesti terjadi tepat seperti itu, sehingga kita mengetahui diri
kita dan mencapai ketetapan kita.
Kesalahan dan dosa mengajari kita pelajaran
berharga. Dengan bertobat, kita bisa dibersihkan dari dosa, namun pelajaran
yang kita dapat mesti kita pelihara selamanya. Hidup merupakan perjalanan yang
harus kita lalui untuk mencapai tujuan dan ketetapan kita. Segala hal yang ditemui dalam perjalanan ini, termasuk kesalahan yang
kita buat, diadakan untuk membantu dan membimbing kita ke arah tersebut.
Bayangkan sebuah tangga dengan milyaran anak
tangga. Jika ketetapan Anda dalam hidup merupakan anak tangga ke-22222, maka ke
sanalah tepatnya pengalaman hidup akan membawa Anda. Melalui orang-orang yang
Anda temui dan peristiwa-peristiwa yang Anda lalui, Allah membentuk Anda dan
mengukir Anda agar bersesuaian dengan posisi tertentu, tidak lebih tidak
kurang.
Allah,
dalam Ilmu QidamNya, telah merancang tangga istimewa ini, yang disebut sebagai
‘kemanusiaan’, dimana masing-masing orang ditetapkan sebagai anak tangga
tertentu; tak seorang pun dapat keluar dari peran atau posisinya dalam tangga
ajaib ini.
Cepat
atau lambat, tiap-tiap orang akan memainkan perannya dan menempati anak tangga
yang ditetapkan baginya. Ketika tangganya sempurna, hari kiamat pun akan
terjadi.
Meskipun saya mengatakan kata ‘ditetapkan’, mari
perhatikan ayat berikut:
“Setiap
hari Dia mewujudkan DiriNya dengan cara yang berbeda.” (Qur’an
55:29)
Dengan kata lain, Allah hadir dalam tiap dimensi,
melalui beragam bentuk dalam dimensi itu.
Serupa dengan itu, ketika benar adanya bahwa
tidak ada “kehendak bebas” dan hanya Kehendak Allah, benar pula bahwa
setiap individu hidup dengan kehendaknya sendiri.
Walau nampaknya sangat bertentangan satu sama
lain, pada kenyataannya merupakan dua sisi dari realitas yang sama. Tidak
berarti bahwa ada kehendak Allah yang lebih besar dan kehendak manusia yang
lebih rendah. Pada hakikatnya, tidak ada perbedaan di antara keduanya;
perbedaan timbul hanya dalam persepsi saja. Yakni, ketika dipandang dari kelima
indera, ada penyebaran (dispersi), sehingga ada banyak kehendak. Ketika
dipandang dari kesadaran, ada kesatuan, dan hanya Kehendak Yang Esa. Sebagai akibatnya, seseorang bisa mengklaim,
“Ada kehendak yang lebih tinggi berkenaan dengan Allah” dan itu akan benar,
namun ia tidak bisa mengklaim, “Juga ada kehendak yang lebih rendah berkenaan
dengan manusia” atau sebaliknya, karena itu merupakan kesan dari hal yang sama.
Di alam kesadaran, tidak ada yang namanya
bagian-bagian ataupun entitas tunggal (monad), hanya ada Keseluruhan. Yang
nampak sebagai banyak hanyalah huibungan-hubungan dan ekspresi-ekspresi yang
berbeda dari Nama-nama Yang Esa. Karenanya, ketika kita mengatakan ‘juga’, kita
sedang menunjuk ‘yang lain’ selain Yang Esa, yang menyiratkan syirik (mempersekutukan Allah dengan
yang lain).
Seperti halnya tangga yang disebutkan di atas,
jika kita menghilangkan satu anak tangga darinya, apakah ia menjadi berarti? Secara bersamaan, semua anak tangga
membentuk tangga; mereka tidak berarti apapun jika berdiri sendiri, karena satu
anak tangga tidak akan membawa Anda kemana pun. Kehendak Yang Esa bagai tangga
tersebut; setiap anak tangga yang menyusun tangga tidak terpisah atau berbeda
darinya. Jadi, ketika merujuk pada ucapan “kehendak
individu”, pada intinya tidak berbeda dengan kehendak Yang Maha Tinggi.
Ketika tangga ini terus berkembang dan memanjang, tampilan wujudnya berubah. Ayat
yang mengatakan Allah menyingkapkan DiriNya dengan cara berbeda setiap harinya,
merujuk pada perwujudan-perwujudan ini.
Ketika sifat hidup Allah tercermin pada kita,
kita mengatakan “Aku hidup”. Kekekalan kita berkenaan dengan sumber hidup kita,
sifat hidup Allah. Hal yang sama berlaku pula dengan ilmu, kehendak, kekuasaan
kita dan yang lainnya.
Jika kita dapat mengubah arah pandangan dan mulai
memandang sesuatu dari intinya bukan dari cangkang luarnya, mungkin kita dapat
menyadari bahwa segala sesuatu yang kita manifestasikan berasal dari Allah dan
kepatuhan kepada petunjuk agung ini pada pasti akan membawa kita kepada
aktualisasi potensi-potensi kita.
Ketetapan (takdir), yang kita bahas sebelumnya,
tidak dimaksudkan bahwa kita cukup duduk-duduk saja tanpa melakukan apapun
karena segala sesuatu telah ditetapkan! Sistem ini tidak membolehkan
ketidakaktifan! Mereka yang statis tidak akan selamat dalam Sistem ini. Seperti
halnya sel primer, yang terbentuk oleh sperma dan telur, tidak akan jadi wujud
apapun jika ia mengatakan, “Aku telah ditetapkan menjadi manusia dan karenanya
tidak perlu bagiku untuk membelah dan memperbanyak diri. . .” Sungguh mustahil
bagi sel untuk tidak memperbanyak diri. Itu bertentangan dengan alam; mau tidak
mau mesti melipatgandakan dirinya!
Serupa dengan itu, mau tidak mau kita mesti
menjadi diri sendiri. Menjadi anak-tangga manapun kita ditetapkan, dalam tangga
kemanusiaan ini, kita pasti akan mengalaminya!
Tujuan
akhirnya terkandung dalam sel primer dari keberadaan kita.
Sel tersebut mengandung karakteristik-karakteristik saya, secara genotif dan
fenotif, namun tidak mendefinisikan saya di setiap detilnya.
Jika kita memandang sesuatu dari sudut
astrological, misalnya, kita mengatakan bahwa kita saat ini di bawah pengaruh
Uranus, dimana Uranus mencerminkan ciri-ciri Aquarius. Dari hal ini kita tidak
bisa menyimpulkan bahwa “Hulusi nantinya akan menulis sebuah buku” atau “Hulusi
akan merenungkan hal ini atau hal itu”.
Gelombang baru yang datang dari Uranus pasti akan merangsang proses pikiran tertentu, namun hasilnya akan beragam pada masing-masing individu, bergantung pada pangkalan data yang telah ada. Jika pangkalan data saya telah siap untuk mengeluarkan pikiran baru, maka rangsangan yang masuk akan berpengaruh baik pada kecerdasan saya. Namun jika kapasitas ini kurang pada diri saya, atau saya tidak dalam moda menerima masukan, gelombang tersebut tidak akan berpengaruh pada fungsi otak saya. Beragam pengaruh planetar yang sampai ke otak tidak lebih dari sekedar rangsangan untuk mengaktifkan bagian-bagian tertentu dari otak.
Contoh lain adalah eksperimen medis yang
dilakukan pada kucing. Aktivitas seksual kucing-kucing meningkat secara
signifikan ketika pusat seks dalam otak mereka dirangsang dengan elektroda.
Ketika pusat kemarahan mereka dirangsang, mereka mulai menggeram. Jadi dapat
difahami bahwa ketika bagian tertentu dari otak ‘teriritasi’, otak tersebut
akan merespons. Serupa dengan itu, ketika data astrological mencapai otak, ia
tiba dalam format elementer tanpa maksud tertentu. Bergantung pada bagian otak
mana yang menerima data, dan bagaimana ia memrosesnya, serta kandungan
pangkalan datanya dan penafsiran yang dibuatnya, perilaku yang dihasilkan akan
berbeda.
Sedangkan mengenai takdir. . .
Tujuan akhir dan jalan yang membawa kita ke sana,
telah ditetapkan bagi kita. Segala yang lainnya bergantung pada program
individu yang kita jalankan, serta akibat-akibat alaminya. Program kita selalu
sinkron dengan pengaruh-pengaruh malaikati yang datang dari kedalaman-kedalaman
dimensi kita. Karenanya, perilaku kita merupakan gabungan dari pengaruh ke
dalam dan pengaruh ke luar yang selalu mengitari kita.
Formasi inilah yang kita sebut sebagai ‘kehendak individu’. Menolak kehendak
individu sama saja dengan menolak formasi ini! Mengatakan bahwa kehendak
individu dan ‘Kehendak Yang Esa’ adalah ‘satu dan hal yang sama’, tidak berarti
menolak kehendak individu; dengan mengklaim es sebagai air tidak menegasi
formasi yang disebut ‘es’ (namun juga tidak menetapkan keberadaan terpisah terhadap es.)
Jika kita melihat realitas dari dimensi kesadaran
murni, kita tidak akan dapat melihat keberadaan sesuatu apapun selain dari Yang
Esa. Dalam keadaan ini, tidak ada yang namanya penyebaran maupun keragaman;
tidak ada ‘yang lain’ yang memiliki kehendak terpisah. Hanya ketika kita
melihat dari sudut pandang individu, yakni dari dimensi keragaman, kita melihat
ekspresi Kehendak Yang Esa individual, yang nampak banyak namun secara hakikat
muncul dari sumber yang sama.
Al-Qur’an menjelaskan hal ini kepada mereka yang
memahaminya dengan mengatakan “Kalian
hanya akan menjalani akibat dari perbuatan-perbuatan kalian”, merujuk pada
kehendak individu dalam domain keragaman. Kemudian dengan mencerminkannya dari
proyeksi kesatuan, Qur’an mengatakan “Hanya
ada satu kehendak: Allah”, merujuk pada realitas bahwa “tiada keberadaan selain Allah.”
Keduanya benar, karena keduanya merupakan proyeksi yang berbeda dari realitas yang sama.
Perlu dicatat bahwa ayatnya mengatakan “Setiap hari Dia mewujudkan DiriNya dengan
cara yang lain”; tidak mengatakan ‘Allah’. Kata ‘Dia’ merupakan
terjemahan dari ‘HU’, yang tidak
berkonotasi gender, tentunya, namun berkonotasi keberadaan murni di luar batas
deskripsi.
Kita dapat memikirkan HU sebagai dimensi kesatuan dalam esensi masing-masing entitas tunggal (monad), sumber dari formasi sinambung.
HU adalah kesatuan yang disamarkan
sebagai keragaman. HU adalah dimensi
keesaan yang tersirat dalam esensi segala sesuatu!
Pertanyaan:
Apakah
raihan ilmu berada dalam kendali kita? Bagaimana ini mempengaruhi masa depan
kita; ‘anak-tangga’ yang menjadi ketetapan kita?
Ilmu, pengalaman dan petunjuk membentuk kita agar
menjadi ‘anak-tangga’ yang telah ditetapkan bagi kita. Derajat raihan dan
penerapan ilmu merupakan derajat terjadinya ‘pembentukan’ itu. Tanpa dibentuk,
seseorang tidak akan menjadi apa yang dituju. Karenanya, ilmu tanpa amal adalah
sia-sia.
Katakanlah, misalnya, bahwa saya telah memperoleh
banyak ilmu dan telah meresapi fakta bahwa setiap individu hanya dapat
mengekspresikan fitrah alaminya dan tidak dapat menunjukkan perilaku di luar
batas-batas kapasitasnya. Sekarang, misalkan saya masuk ke restoran, pelayan datang
dan melemparkan daftar menu ke hadapan saya. Bolehkah saya geram dan
memarahinya? Dia hanya menunjukkan perilaku yang berasal dari program
internalnya; jelas bahwa dia kekurangan data untuk bias bertindak dengan cara
yang berbeda!
Jika saya tidak sadar dengan kebenaran ini, saya
akan bereaksi dengan kemarahan dan frustasi. Saya akan mempertanyakan sikapnya
itu dengan geram dan berupaya mengoreksinya. Namun ilmu memungkinkan saya untuk
tetap tenang, tidak bereaksi dengan emosi. Ilmu menyelamatkan saya dari beban reaksi
impulsif yang tak perlu serta pantulan yang melelahkan yang diakibatkannya.
Ketika seseorang menjadi panas dan marah, jutaan
sel berhenti seketika! Kemarahan, bergantung pada intensitasnya, dapat
menyebabkan jutaan hubungan singkat dan letupan di tingkat molekul, bahkan
kadang merusak total sel-sel otak! Jadi bagaimana seorang terpelajar yang telah
meraih ilmu bisa menunjukkan perilaku demikian dan menyebabkan kematian
dirinya? Mungkinkah ilmu yang dimilikinya ini ilmu yang benar? Jika ilmu tidak
mencegah kita dari merusak diri dan orang lain, jika ilmu tidak ‘membentuk’
kita, maka kita tak pantas untuk mengaku telah berilmu.
Potongan berlian lah yang menentukan nilai
berliannya. Berlian satu karat dengan 52 faset (muka) jauh lebih berharga
dibanding berlian dengan 32 faset atau 16 faset dengan berat yang sama. Semakin banyak potongannya, semakin tinggi
nilai berliannya.
Kita pun seperti berlian. Semakin banyak ilmu
memotong dan membentuk kita, semakin tinggi pula nilai kita.
Pertanyaan:
Jika
tingkatan ilmu yang dapat saya raih terserah keinginan saya, yakni jika saya
berkuasa menggunakan otak saya untuk mengevalusi ilmu, maka apakah logis
beranggapan bahwa ‘anak-tangga’ yang kita bentuk dalam tangga itu tidaklah
tetap, maksudnya tangga tersebut tidaklah stabil?
Tempat kita di dalam tangga itu sudah tetap.
Tempat yang kita duduki, ‘anak-tangga’ yang kita susun adalah tujuan sebenarnya
dari penciptaan kita. Namun bentuk akhirnya ditentukan pada titik kematian.
Selama kita masih hidup, kita masih dalam proses pemotongan dan pembentukan.
‘Pembentukan’ yang terjadi di neraka layaknya
pencucian akhir terhadap sisa-sisa kotoran yang kita bawa dari kehidupan
duniawi. Bagai pemurnian emas dengan api, hal itu tidak menambah nilai apapun
padanya; semata memurnikannya.
Karenanya, neraka
bukanlah tempat pembentukan, melainkan tempat pemurnian.
Api neraka memurnikan dan memadatkan hal-hal yang
kita peroleh di dunia, sehingga kita bisa memasuki surga sebagai mahluk-mahluk
yang beradab.
Apapun alasannya, setiap orang mengalami fase
menengah dalam kehidupan mereka, fase dimana mereka mengalami pembakaran batin.
Pembakaran ini, yang dirujuk sebagai ‘api neraka’, merupakan cara pembersihan
diri kita dari keadaan yang tidak tepat yang menghalangi keberadaan surgawi
kita.
Mereka yang ditakdirkan untuk tinggal di neraka
selama-lamanya, pada akhirnya akan mencapai keadaan yang beradab setelah
penderitaan berat yang berkepanjangan.
Tapi di akhir semua penderitaan, apinya akan
padam, pembakaran akan berhenti, dan kehidupan
baru akan bersemi dari abunya.
16
Talbot, 1991
17
Topik ini telah dibahas secara rinci dalam buku saya Panduan Sholat dan Dzikir bagi mereka yang berminat membacanya.