Kamis, 06 November 2014

Yang Maha melihat - 11



APA SEBENARNYA YANG TERJADI DALAM 
OTAK KITA?

Sumber:           The Observing One  Karya: Ahmed Hulusi
Alih Bahasa: T. J. Sagwiangsa

Dalam The Holographic Universe (Jagat Holografik), Michael Talbot menyajikan teori-teori Bohm dan Pribram; dan merujuk pada cara pandang baru terhadap dunia yang mereka usulkan, beliau mengatakan:

“Otak kita secara matematik menyusun realitas obyektif dengan menerjemahkan frekuensi yang pada akhirnya merupakan proyeksi-proyeksi dari dimensi lain, suatu tatanan keberadaan yang lebih dalam di luar ruang dan waktu: Otak merupakan hologram yang terbungkus dalam jagat holografik.”16

Mari kita coba fahami implikasi dari pandangan istimewa ini. Pertama-tama, mari kesampingkan masalah waktu dan ruang, dan fokus pada kata-kata:

“. . . tatanan keberadaan yang lebih dalam dari dimensi lain.”
Tatanan ‘yang lebih dalam’ merupakan tatanan di kedalaman keberadaan kita; esensi kita, dalam istilah Sufisme, Keberadaan Absolut!

Di luar keberadaan ilusi yang kita rujuk ketika kita menyebutnya ‘aku’, ada ‘aku’ yang lain, yang sama untuk semua keberadaan, ‘aku’ yang Absolut, Diri yang Absolut!

Otak, karenanya, merupakan konverter (pengubah) frekuensi yang merupakan proyeksi-proyeksi dari ‘aku’ Absolut ini, yang memproyeksikan frekuensi-frekuensi dari makna-makna implisitNya yang ingin Dia ungkap!

Saya mesti memberi penekanan lebih akan pentingnya pernyataan berikut:

“Allah telah menciptakan setiap manusia untuk tujuan khusus. Hanya dengan memenuhi fitrah alami mereka, dan dengan mengikuti alur yang paling cocok dengan susunan mereka, orang-orang dapat memenuhi tujuan unik mereka. Pemenuhan syarat inilah yang menjadikan penghambaan mereka tercapai!”

Jika kita benar-benar dapat memahami makna dari dan meresapi kebenaran ini, kita tidak akan lagi merasa marah, tertekan, terganggu atau bersikap kritis! Karena kita akan sadar terhadap realitas bahwa setiap orang hanya dapat mengungkapkan fitrah alami mereka, baik fitrah itu selaras ataupun bertentangan dengan fitrah kita! Adalah hal yang konyol mempertanyakan motivasi orang lain, bagaikan bertanya kepada hati mengapa ia tidak memompa darah seperti halnya jantung!

Sungguh, kebenaran ini merupakan inti dan rangkuman dari Sistem dan Tatanan sebagaimana dijelaskan Al-Qur’an.

Selama kita masih gagal untuk memahami realitas ini, pengakuan keimanan kita kepada Tuhan adalah palsu; keyakinan kita hanyalah imitasi.

Keyakinan sejati adalah buah dari pemahaman, internalisasi dan aplikasi terhadap realitas ini.

Pertama-tama, seorang calon Sufi mesti meninggalkan amarahnya! Karena segera setelah ia marah oleh sesuatu hal, maka ia telah meninggalkan dan menolak Allah! Masing-masing individu hanya dapat melakukan apa yang ada dalam program ciptaannya. Marah karena sesuatu tak ada bedanya dengan marah karena fitrah yang ditetapkan Allah kepadanya, yakni ketetapan Allah.

Jika Allah berkehendak untuk menciptakannya dengan program tertentu, bagaimana kita dapat mempertanyakan Ilmu dan Kehendak AbsolutNya? Jelas bahwa Allah bebas memilih untuk menentukan susunan tertentu pada individu tersebut. Berpendapat bahwa orang tersebut salah dibuat, atau cacat atau tidak tepat, jelas merendahkan, meragukan dan bahkan menolak Ketuhanan dari Allah!

Pertanyaan:
Apa makna mimpi? Apakah mimpi layak berada dalam Sistem ini? Bagaimana pandangan kita terhadap penglihatan kita dalam mimpi, apakah ruh kita meninggalkan badan dan pergi ke suatu tempat?

Istilah ‘perjalanan astral’ menunjukkan keadaan otak dimana emisi gelombang radar tertentu memroyeksikan gambar tertentu, sehingga kita dapat melihat dan mengalami hal atau kejadian tertentu.
Pandangan umum menyebutkan bahwa ruh meninggalkan tubuh ketika kita tidur, melakukan tur kecil dan kembali lagi ke dalam tubuh saat bangun. Tidak begitu! Ruh tidak meninggalkan tubuh atau pergi ke suatu tempat! Mereka yang tercerahkan, yang mampu mengaktifkan mata ke tiganya, memiliki kemampuan untuk mengarahkan gelombang radar mereka ke lokasi tertentu dan melihat tempat tersebut melalui gambar yang diproyeksikan balik ke otak mereka.

Mereka yang tak acuh terhadap mekanisme proses ini berpikir bahwa ruh sebenarnya meninggalkan tubuh mereka dan pergi ke suatu tempat.

Ruh hanya dapat meninggalkan tubuh dalam dua cara:
1.   Kematian
2.   Penguasaan (fath)

Mereka yang benar-benar tercerahkan, yang telah mampu menguasai jiwa mereka, yang telah ‘mati sebelum ajal’ dan mencapai keadaan Haqqul yaqiin (Kepastian Realitas), merupakan orang-orang yang bisa melihat tanpa keberadaan tubuh. Sedangkan semua yang lainnya bersandar pada gelombang radar yang dipancarkan otak mereka!17

Gelombang radar ini bisa berupa keajaiban, yang didasarkan dan diarahkan kepada dimensi-dimensi di atas Bumi, atau sebagai fenomena yang didasarkan dan diarahkan kepada dimensi-dimensi Surga, Neraka, dan Alam Antara. Juga bisa diarahkan kepada dimensi-dimensi yang lebih rendah, bergantung pada kapasitas ekspansi dari otak mereka.

Sebagai contoh, ketika kita bermimpi mengenai malaikat, kita melihat mereka dalam beragam bentuk dan tampilan yang telah kita kenal. Dalam keadaan aslinya, malaikat tidak memiliki ‘bentuk’; mereka hanya memiliki frekuensi tertentu terkait dengan fungsi khusus mereka. Dengan kata lain, malaikat adalah ‘getaran frekuensi tinggi’. Ketika salah satu dari frekuensi ini mencapai otak kita, kita membandingkannya dengan pangkalan data yang ada dan membacanya berdasarkan frekuensi terdekat yang bisa kita temukan, lalu memberikan tampilan gambar padanya.

Ketika sebatang pohon berbicara dalam mimpi kita, misalnya, itu sebenarnya malaikat; getaran frekuensi tinggi yang dibaca dan ditafsirkan sebagai pohon, karena itulah frekuensi terdekat yang bisa ditemukan otak dalam pangkalan datanya!

Serupa dengan itu, ketika beragam frekuensi mencapai otak, sebuah mesin pelacak otomatis diaktifkan untuk menemukan pasangan yang paling bersesuaian untuk ‘mendefinisikan’nya. Bentuk apapun yang telah diberikan kepada pasangan yang paling sesuai ini tak pernah berubah. Karenanya, kita melihat mimpi dalam simbol-simbol dan bukan dalam keadaan aslinya.

Jika kita melangkah lebih jauh. . . Nabi Muhammad (saw) mengatakan:

“Manusia dalam keadaan tidur dan akan dibangunkan oleh kematian!”

Apa ini artinya? Jika kehidupan ini bagaikan tidur, mestinya kita semua ini sedang bermimpi! Dunia ini, dan segala sesuatu di dalamnya, bagaikan sebuah mimpi jika dipandang dari sudut akhirat. . . Segala yang kita alami di sini, rasa sakit, kegembiraan, harta kita, apa yang kita cintai. . . semuanya akan terasa mimpi ketika kita bangun di akhirat dengan kematian. . . Dan seperti halnya kita memandang mimpi, dalam bentuk simbol-simbol sebagai akibat mekanisme pengubahan frekuensi oleh otak, demikian pula kita memandang segala sesuatu dalam dimensi ini dengan proses yang serupa.

Semua ini ditegaskan oleh ahli fisiologi syaraf terkemuka di dunia, profesor Karl Pribram dari Universitas Stanford dan ahli fisika terkenal, David Bohm.

Pertanyaan:
Bisakah orang-orang memiliki persepsi yang berbeda terhadap obyek yang sama?

Jika frekuensi yang sama sampai kepada dua orang yang berbeda dengan pangkalan data yang sama, maka evaluasi yang dihasilkan akan sama. Itulah tepatnya mengapa kita semua mempersepsikan dan melihat obyek yang sama dengan cara yang sama, karena kita semua mempunyai mekanisme persepsi yang sama dan telah dikondisikan agar berfungsi dengan cara yang sama!

Spektrum yang nampak, yakni kisaran frekuensi yang dapat dideteksi mata manusia, adalah tentu. Baik frekuensi yang sama itu mencapai satu mata ataupun 1.000 mata yang berbeda, hasilnya akan selalu sama. Mereka semua akan melihat hal yang sama, karena semuanya akan memroses data yang masuk dengan menggunakan sistem yang sama.

Pertanyaan:
Mengapa buta-warna menghasilkan persepsi warna yang berbeda?

Ini karena, dalam hal buta-warna, ada perbedaan dalam mekanisme otaknya. Orang yang buta warna memroses frekuensi yang masuk secara berbeda dibanding orang yang tidak buta warna. Ini tidak berarti bahwa mereka menerima frekuensi yang berbeda; mereka memiliki otak yang berbeda! Pangkalan data lah, yakni akumulasi data di sepanjang hidup seseorang, yang menentukan kapasitas otaknya.

Ketika kita lahir, pangkalan data kita hanya terdiri dari data genetik dan data astrologik, namun sejak dilahirkan, kita selalu rentan terhadap informasi baru, pengkondisian baru, dan data baru. Itulah sebabnya mengapa bayi yang baru lahir memiliki visi yang terbatas. Bukan karena kurangnya penglihatan, namun karena kurangnya data di dalam otak untuk ‘mengevaluasi’ informasi.

Kita hanya dapat memroyeksikan ke luar apa yang kita miliki ke dalam. Kemampuan kita untuk membaca masukan data tertentu hanya bergantung pada pangkalan data yang telah dibangun sejak kita lahir.

Sebagai contoh, hasrat menggemari, dan ketertarikan pada kecantikan, merupakan suatu ciri dari otak. Hal itu bisa dihubungkan kepada sifat-sifat genetik atau pengaruh-pengaruh astrologikal, seperti posisi Venus dalam diagram kelahiran seseorang. Bagaimanapun juga, cara mewujudnya kecenderungan ini di Iran berbeda dengan di Afrika, di Jepang atau di Amerika Serikat. Bergantung pada pengkondisian lingkungan membentuk pangkalan data seseorang, sifat-sifat yang semula sama pada seluruh kemanusiaan, selanjutnya mewujud melalui banyak cara.

Pertanyaan:
Apakah ‘Surga’ dan ‘Neraka’ merupakan frekuensi-frekuensi khusus?

Semua informasi atau ‘data’ dalam pangkalan data kita merupakan frekuensi-frekuensi khusus. Pengalaman kesenangan surgawi seseorang berbanding langsung dengan sekaya dan selengkap apa pangkalan data orang tersebut, dan karenanya menghasilkan tingkatan Surga yang berbeda!

Inilah sebabnya mengapa Nabi Muhammad (saw) mendorong pengejaran ilmu dengan kata-kata beliau:

“Carilah ilmu sejak buaian hingga liang lahat”, karena raihan ilmu lah yang meningkatkan kapasitas pangkalan data yang ada di dalam otak kita dan terangkat kepada jiwa kita. Pengalaman hidup kita sesungguhnya merupakan hasil dari informasi yang terkandung dalam pangkalan data ini. Kualitas dan banyaknya ilmu yang kita pasok ke dalamnya lah yang mendefinisikan ‘pengalaman’ hidup kita, apakah itu seperti-neraka ataupun seperti-surga.

Para Sufi mengatakan: “Tinggalkanlah berbicara dengan orang bodoh!”

Siapakah orang bodoh itu?

Mereka yang tidak tahu dengan kebodohannya!

Mengapa harus ‘meninggalkannya’? Sederhana; karena orang semacam itu tidak menambah apapun kepada para pencari ilmu. Para pencinta ilmu mesti berteman dengan mereka yang ilmunya lebih tinggi dan lebih dalam dari dirinya, dan hanya mendekati mereka yang di bawahnya dengan maksud berbagi ilmu.

Pencinta ilmu berusaha untuk mengumpulkan ilmu dengan semangat yang sama dengan pencinta dunia yeng berusaha mengumpulkan uang dan kekayaan, dengan mengabaikan kehidupan akhirat. Ini karena para pengejar ilmu mengetahui bahwa ia tidak akan mendapatkan ilmu lebih banyak untuk mengembangkan jiwanya lebih jauh setelah ajal tiba. Itulah sebabnya mengapa penting bagi pencari ilmu untuk memperhatikan kata-kata gurunya: “Carilah ilmu sejak dari buaian hingga liang lahat”, “Carilah ilmu walau ke negeri Cina”, “Bertemanlah dengan mereka yang ilmunya lebih tinggi dari kalian!”

Ilmu yang handal adalah ilmu yang berguna setelah kematian, sedangkan ilmu yang tak berguna tidak bermanfaat di kehidupan akhirat. Ketika mereka yang tercerahkan mengingatkan kita terhadap pengejaran ilmu yang tak berguna, mereka bukannya melarang sama sekali ilmu demikian, melainkan menasihati agar tidak terikat dan rusak olehnya. Karena semua ilmu yang ditemui memiliki tujuan dan tak satupun yang ditemui secara kebetulan.

Semua hal yang dialami oleh penciptaan tercakup dalam tujuan dan program yang telah ditetapkan. Tidak satupun tanpa alasan. Kita semua dilengkapi dengan program yang diperlukan untuk memenuhi tujuan yang dikehendaki Pencipta bagi kita. Kita tidak dapat melaksanakan sebuah kode yang tidak tercatat dalam program kita!

Mari saya contohkan apa yang terjadi pada diri saya. . .

Ketika usia saya sekitar 15-18 tahun, saya berpikiran bahwa saya adalah orang berintelejen tinggi. Saya sering merasa heran mengapa Allah menghendaki saya terlahir di Istambul, bukannya di negara yang lebih berkembang seperti di Eropa atau Amerika Serikat. Bahkan saya pikir akan lebih tepat jika saya lahir di Mekah atau Madinah. Kebijaksanaan apa di balik kehendak ini?

Setelah tahun-tahun berlalu, saya sadar bahwa jika saya lahir dan dibesarkan di Mekah atau Madinah, pemahaman agama saya mungkin tidak akan melewati pemahaman ‘harfiah’, membuat saya tak mampu untuk membaca makna simbolik dan kiasan dari agama. Sebaliknya jika saya lahir di Barat, saya mungkin menjadi ilmuwan yang hebat, namun terjauhkan dari ilmu yang disampaikan Nabi Muhammad (saw).

Namun Allah menghendaki saya lahir di Istambul, sebuah kota diperbatasan Timur dan Barat, tepat di tengah kedua dunia! Jadi, saya mendapat manfaat dari ajaran-ajaran Timur dan sumberdaya-sumberdaya dari Barat, membentuk gabungan dari keduanya. Mungkin saya akan terjauhkan dari ini jika tempat lahir saya pada peta sedikit lebih ke kiri atau sedikit lebih ke kanan!

Seperti itulah Allah memberikan lingkungan dan sumberdaya yang diperlukan untuk memenuhi tujuan unik dari setiap individu.

Semua itu berdasarkan pandangan yang bergerak dari Esensi ke arah luar.

Jika kita memandangnya dari arah sebaliknya, dan melihat Esensi dari realitas luar, kita bisa berkesimpulan terbalik bahwa orang-orang dalam kehidupan kita, lingkungan kita, dan pekerjaan kita semuanya merupakan pertanda berita bagus atau bencana.

Jika dipandang dengan cara ini, hal ini menarik untuk dipikirkan! Seseorang tak lagi merasa perlu untuk mengatakan ‘Saya berharap. . .’ karena ia sadar dengan keyakinan bahwa segala sesuatu akan dan selalu berjalan sesuai dengan ketetapan! Tidak ada gunanya mengatakan ‘Andai saja saya tidak melakukan kesalahan itu di masa lampau’. Sungguh, kesalahan itu mesti dilakukan, pelajarannya mesti diambil, emosinya mesti dijalani, dan segala sesuatu mesti terjadi tepat seperti itu, sehingga kita mengetahui diri kita dan mencapai ketetapan kita.

Kesalahan dan dosa mengajari kita pelajaran berharga. Dengan bertobat, kita bisa dibersihkan dari dosa, namun pelajaran yang kita dapat mesti kita pelihara selamanya. Hidup merupakan perjalanan yang harus kita lalui untuk mencapai tujuan dan ketetapan kita. Segala hal yang ditemui dalam perjalanan ini, termasuk kesalahan yang kita buat, diadakan untuk membantu dan membimbing kita ke arah tersebut.

Bayangkan sebuah tangga dengan milyaran anak tangga. Jika ketetapan Anda dalam hidup merupakan anak tangga ke-22222, maka ke sanalah tepatnya pengalaman hidup akan membawa Anda. Melalui orang-orang yang Anda temui dan peristiwa-peristiwa yang Anda lalui, Allah membentuk Anda dan mengukir Anda agar bersesuaian dengan posisi tertentu, tidak lebih tidak kurang.

Allah, dalam Ilmu QidamNya, telah merancang tangga istimewa ini, yang disebut sebagai ‘kemanusiaan’, dimana masing-masing orang ditetapkan sebagai anak tangga tertentu; tak seorang pun dapat keluar dari peran atau posisinya dalam tangga ajaib ini.
 Cepat atau lambat, tiap-tiap orang akan memainkan perannya dan menempati anak tangga yang ditetapkan baginya. Ketika tangganya sempurna, hari kiamat pun akan terjadi.

Meskipun saya mengatakan kata ‘ditetapkan’, mari perhatikan ayat berikut:

“Setiap hari Dia mewujudkan DiriNya dengan cara yang berbeda.” (Qur’an 55:29)

Dengan kata lain, Allah hadir dalam tiap dimensi, melalui beragam bentuk dalam dimensi itu.

Serupa dengan itu, ketika benar adanya bahwa tidak ada “kehendak bebas” dan hanya Kehendak Allah, benar pula bahwa setiap individu hidup dengan kehendaknya sendiri.

Walau nampaknya sangat bertentangan satu sama lain, pada kenyataannya merupakan dua sisi dari realitas yang sama. Tidak berarti bahwa ada kehendak Allah yang lebih besar dan kehendak manusia yang lebih rendah. Pada hakikatnya, tidak ada perbedaan di antara keduanya; perbedaan timbul hanya dalam persepsi saja. Yakni, ketika dipandang dari kelima indera, ada penyebaran (dispersi), sehingga ada banyak kehendak. Ketika dipandang dari kesadaran, ada kesatuan, dan hanya Kehendak Yang Esa. Sebagai akibatnya, seseorang bisa mengklaim, “Ada kehendak yang lebih tinggi berkenaan dengan Allah” dan itu akan benar, namun ia tidak bisa mengklaim, “Juga ada kehendak yang lebih rendah berkenaan dengan manusia” atau sebaliknya, karena itu merupakan kesan dari hal yang sama.

Di alam kesadaran, tidak ada yang namanya bagian-bagian ataupun entitas tunggal (monad), hanya ada Keseluruhan. Yang nampak sebagai banyak hanyalah huibungan-hubungan dan ekspresi-ekspresi yang berbeda dari Nama-nama Yang Esa. Karenanya, ketika kita mengatakan ‘juga’, kita sedang menunjuk ‘yang lain’ selain Yang Esa, yang menyiratkan syirik (mempersekutukan Allah dengan yang lain).

Seperti halnya tangga yang disebutkan di atas, jika kita menghilangkan satu anak tangga darinya, apakah ia menjadi berarti? Secara bersamaan, semua anak tangga membentuk tangga; mereka tidak berarti apapun jika berdiri sendiri, karena satu anak tangga tidak akan membawa Anda kemana pun. Kehendak Yang Esa bagai tangga tersebut; setiap anak tangga yang menyusun tangga tidak terpisah atau berbeda darinya. Jadi, ketika merujuk pada ucapan “kehendak individu”, pada intinya tidak berbeda dengan kehendak Yang Maha Tinggi. Ketika tangga ini terus berkembang dan memanjang, tampilan wujudnya berubah. Ayat yang mengatakan Allah menyingkapkan DiriNya dengan cara berbeda setiap harinya, merujuk pada perwujudan-perwujudan ini.

Ketika sifat hidup Allah tercermin pada kita, kita mengatakan “Aku hidup”. Kekekalan kita berkenaan dengan sumber hidup kita, sifat hidup Allah. Hal yang sama berlaku pula dengan ilmu, kehendak, kekuasaan kita dan yang lainnya.

Jika kita dapat mengubah arah pandangan dan mulai memandang sesuatu dari intinya bukan dari cangkang luarnya, mungkin kita dapat menyadari bahwa segala sesuatu yang kita manifestasikan berasal dari Allah dan kepatuhan kepada petunjuk agung ini pada pasti akan membawa kita kepada aktualisasi potensi-potensi kita.

Ketetapan (takdir), yang kita bahas sebelumnya, tidak dimaksudkan bahwa kita cukup duduk-duduk saja tanpa melakukan apapun karena segala sesuatu telah ditetapkan! Sistem ini tidak membolehkan ketidakaktifan! Mereka yang statis tidak akan selamat dalam Sistem ini. Seperti halnya sel primer, yang terbentuk oleh sperma dan telur, tidak akan jadi wujud apapun jika ia mengatakan, “Aku telah ditetapkan menjadi manusia dan karenanya tidak perlu bagiku untuk membelah dan memperbanyak diri. . .” Sungguh mustahil bagi sel untuk tidak memperbanyak diri. Itu bertentangan dengan alam; mau tidak mau mesti melipatgandakan dirinya!

Serupa dengan itu, mau tidak mau kita mesti menjadi diri sendiri. Menjadi anak-tangga manapun kita ditetapkan, dalam tangga kemanusiaan ini, kita pasti akan mengalaminya!

Tujuan akhirnya terkandung dalam sel primer dari keberadaan kita. Sel tersebut mengandung karakteristik-karakteristik saya, secara genotif dan fenotif, namun tidak mendefinisikan saya di setiap detilnya.

Jika kita memandang sesuatu dari sudut astrological, misalnya, kita mengatakan bahwa kita saat ini di bawah pengaruh Uranus, dimana Uranus mencerminkan ciri-ciri Aquarius. Dari hal ini kita tidak bisa menyimpulkan bahwa “Hulusi nantinya akan menulis sebuah buku” atau “Hulusi akan merenungkan hal ini atau hal itu”.

Gelombang baru yang datang dari Uranus pasti akan merangsang proses pikiran tertentu, namun hasilnya akan beragam pada masing-masing individu, bergantung pada pangkalan data yang telah ada. Jika pangkalan data saya telah siap untuk mengeluarkan pikiran baru, maka rangsangan yang masuk akan berpengaruh baik pada kecerdasan saya. Namun jika kapasitas ini kurang pada diri saya, atau saya tidak dalam moda menerima masukan, gelombang tersebut tidak akan berpengaruh pada fungsi otak saya. Beragam pengaruh planetar yang sampai ke otak tidak lebih dari sekedar rangsangan untuk mengaktifkan bagian-bagian tertentu dari otak.

Contoh lain adalah eksperimen medis yang dilakukan pada kucing. Aktivitas seksual kucing-kucing meningkat secara signifikan ketika pusat seks dalam otak mereka dirangsang dengan elektroda. Ketika pusat kemarahan mereka dirangsang, mereka mulai menggeram. Jadi dapat difahami bahwa ketika bagian tertentu dari otak ‘teriritasi’, otak tersebut akan merespons. Serupa dengan itu, ketika data astrological mencapai otak, ia tiba dalam format elementer tanpa maksud tertentu. Bergantung pada bagian otak mana yang menerima data, dan bagaimana ia memrosesnya, serta kandungan pangkalan datanya dan penafsiran yang dibuatnya, perilaku yang dihasilkan akan berbeda.

Sedangkan mengenai takdir. . .

Tujuan akhir dan jalan yang membawa kita ke sana, telah ditetapkan bagi kita. Segala yang lainnya bergantung pada program individu yang kita jalankan, serta akibat-akibat alaminya. Program kita selalu sinkron dengan pengaruh-pengaruh malaikati yang datang dari kedalaman-kedalaman dimensi kita. Karenanya, perilaku kita merupakan gabungan dari pengaruh ke dalam dan pengaruh ke luar yang selalu mengitari kita.

Formasi inilah yang kita sebut sebagai ‘kehendak individu’. Menolak kehendak individu sama saja dengan menolak formasi ini! Mengatakan bahwa kehendak individu dan ‘Kehendak Yang Esa’ adalah ‘satu dan hal yang sama’, tidak berarti menolak kehendak individu; dengan mengklaim es sebagai air tidak menegasi formasi yang disebut ‘es’ (namun juga tidak menetapkan keberadaan terpisah terhadap es.)

Jika kita melihat realitas dari dimensi kesadaran murni, kita tidak akan dapat melihat keberadaan sesuatu apapun selain dari Yang Esa. Dalam keadaan ini, tidak ada yang namanya penyebaran maupun keragaman; tidak ada ‘yang lain’ yang memiliki kehendak terpisah. Hanya ketika kita melihat dari sudut pandang individu, yakni dari dimensi keragaman, kita melihat ekspresi Kehendak Yang Esa individual, yang nampak banyak namun secara hakikat muncul dari sumber yang sama.

Al-Qur’an menjelaskan hal ini kepada mereka yang memahaminya dengan mengatakan “Kalian hanya akan menjalani akibat dari perbuatan-perbuatan kalian”, merujuk pada kehendak individu dalam domain keragaman. Kemudian dengan mencerminkannya dari proyeksi kesatuan, Qur’an mengatakan “Hanya ada satu kehendak: Allah”, merujuk pada realitas bahwa “tiada keberadaan selain Allah.”

Keduanya benar, karena keduanya merupakan proyeksi yang berbeda dari realitas yang sama.

Perlu dicatat bahwa ayatnya mengatakan “Setiap hari Dia mewujudkan DiriNya dengan cara yang lain”;  tidak mengatakan ‘Allah’. Kata ‘Dia’ merupakan terjemahan dari ‘HU’, yang tidak berkonotasi gender, tentunya, namun berkonotasi keberadaan murni di luar batas deskripsi.

Kita dapat memikirkan HU sebagai dimensi kesatuan dalam esensi masing-masing entitas tunggal (monad), sumber dari formasi sinambung.

HU adalah kesatuan yang disamarkan sebagai keragaman. HU adalah dimensi keesaan yang tersirat dalam esensi segala sesuatu!

Pertanyaan:
Apakah raihan ilmu berada dalam kendali kita? Bagaimana ini mempengaruhi masa depan kita; ‘anak-tangga’ yang menjadi ketetapan kita?

Ilmu, pengalaman dan petunjuk membentuk kita agar menjadi ‘anak-tangga’ yang telah ditetapkan bagi kita. Derajat raihan dan penerapan ilmu merupakan derajat terjadinya ‘pembentukan’ itu. Tanpa dibentuk, seseorang tidak akan menjadi apa yang dituju. Karenanya, ilmu tanpa amal adalah sia-sia.

Katakanlah, misalnya, bahwa saya telah memperoleh banyak ilmu dan telah meresapi fakta bahwa setiap individu hanya dapat mengekspresikan fitrah alaminya dan tidak dapat menunjukkan perilaku di luar batas-batas kapasitasnya. Sekarang, misalkan saya masuk ke restoran, pelayan datang dan melemparkan daftar menu ke hadapan saya. Bolehkah saya geram dan memarahinya? Dia hanya menunjukkan perilaku yang berasal dari program internalnya; jelas bahwa dia kekurangan data untuk bias bertindak dengan cara yang berbeda!

Jika saya tidak sadar dengan kebenaran ini, saya akan bereaksi dengan kemarahan dan frustasi. Saya akan mempertanyakan sikapnya itu dengan geram dan berupaya mengoreksinya. Namun ilmu memungkinkan saya untuk tetap tenang, tidak bereaksi dengan emosi. Ilmu menyelamatkan saya dari beban reaksi impulsif yang tak perlu serta pantulan yang melelahkan yang diakibatkannya.

Ketika seseorang menjadi panas dan marah, jutaan sel berhenti seketika! Kemarahan, bergantung pada intensitasnya, dapat menyebabkan jutaan hubungan singkat dan letupan di tingkat molekul, bahkan kadang merusak total sel-sel otak! Jadi bagaimana seorang terpelajar yang telah meraih ilmu bisa menunjukkan perilaku demikian dan menyebabkan kematian dirinya? Mungkinkah ilmu yang dimilikinya ini ilmu yang benar? Jika ilmu tidak mencegah kita dari merusak diri dan orang lain, jika ilmu tidak ‘membentuk’ kita, maka kita tak pantas untuk mengaku telah berilmu.

Potongan berlian lah yang menentukan nilai berliannya. Berlian satu karat dengan 52 faset (muka) jauh lebih berharga dibanding berlian dengan 32 faset atau 16 faset dengan berat yang sama. Semakin banyak potongannya, semakin tinggi nilai berliannya.

Kita pun seperti berlian. Semakin banyak ilmu memotong dan membentuk kita, semakin tinggi pula nilai kita.

Pertanyaan:
Jika tingkatan ilmu yang dapat saya raih terserah keinginan saya, yakni jika saya berkuasa menggunakan otak saya untuk mengevalusi ilmu, maka apakah logis beranggapan bahwa ‘anak-tangga’ yang kita bentuk dalam tangga itu tidaklah tetap, maksudnya tangga tersebut tidaklah stabil?

Tempat kita di dalam tangga itu sudah tetap. Tempat yang kita duduki, ‘anak-tangga’ yang kita susun adalah tujuan sebenarnya dari penciptaan kita. Namun bentuk akhirnya ditentukan pada titik kematian. Selama kita masih hidup, kita masih dalam proses pemotongan dan pembentukan.

‘Pembentukan’ yang terjadi di neraka layaknya pencucian akhir terhadap sisa-sisa kotoran yang kita bawa dari kehidupan duniawi. Bagai pemurnian emas dengan api, hal itu tidak menambah nilai apapun padanya; semata memurnikannya.

Karenanya, neraka bukanlah tempat pembentukan, melainkan tempat pemurnian.

Api neraka memurnikan dan memadatkan hal-hal yang kita peroleh di dunia, sehingga kita bisa memasuki surga sebagai mahluk-mahluk yang beradab.

Apapun alasannya, setiap orang mengalami fase menengah dalam kehidupan mereka, fase dimana mereka mengalami pembakaran batin. Pembakaran ini, yang dirujuk sebagai ‘api neraka’, merupakan cara pembersihan diri kita dari keadaan yang tidak tepat yang menghalangi keberadaan surgawi kita.

Mereka yang ditakdirkan untuk tinggal di neraka selama-lamanya, pada akhirnya akan mencapai keadaan yang beradab setelah penderitaan berat yang berkepanjangan.

Tapi di akhir semua penderitaan, apinya akan padam, pembakaran akan berhenti, dan kehidupan baru akan bersemi dari abunya.


16 Talbot, 1991
17 Topik ini telah dibahas secara rinci dalam buku saya Panduan Sholat dan Dzikir bagi mereka yang berminat membacanya.

Minggu, 26 Oktober 2014

Yang Maha Melihat - 10

KEHENDAK YANG ESA

Sumber:           The Observing One  Karya: Ahmed Hulusi
Alih Bahasa: T. J. Sagwiangsa


Ketika Yang Esa, untuk merasakan DiriNya, berkehendak membuka DiriNya melalui bentuk tertentu dalam alam jasmani, bentuk tersebut akan kembali kepada Yang Esa dengan mengorbankan segalanya, termasuk keberadaan dirinya.

Untuk mencapai tujuan ini, ia akan melepaskan segalanya, dari bidang pikiran hingga bidang tindakan, segala yang dianggap miliknya akan ditinggalkan. Ia akan menanggalkan pengkondisian diri, dan semua nilai-nilai yang melekat padanya, serta emosi-emosi yang diakibatkannya. . . Ia bahkan akan melepaskan hasrat-hasrat jasmani dan kecanduannya, membersihkan tubuhnya dari kebiasaan merokok dan minum minuman keras, makan dan tidur berlebihan dan kelemahan-kelemahan fisik lain yang diperoleh selama hidupnya. Ia kemudian akan memulai praktek-praktek spiritual untuk meningkatkan kesadarannya.

Ketika ia menemukan realitasnya pada tingkat kesadaran, ia akan mengenal Yang Esa dan menyadari bahwa semua ilmu berkenaan denganNya. Ia kemudian akan menyadari sifat ilusi dari dirinya dan ketiadaan identitas nyata dirinya, dan mulai melepaskannya, dan akhirnya melenyapkan dirinya dan bersatu dengan Yang Esa.

Namun demikian, semua ini hanya bisa dicapai melalui petunjuk dari mentor yang tercerahkan, yang telah menjalani realitas ini. Karena mustahil bagi seseorang, dengan ikhtiarnya sendiri saja, bisa terbebas dari kungkungan pengkondisian, dari hasrat dan kecenderungan alami, atau ilusi identitas-diri.15

Maka, untuk mencapai Yang Esa, ia mesti mencari dan menemukan seseorang yang memungkinkan dirinya melepaskan semua pengkondisian dirinya, seorang penunjuk jalan yang telah melewati proses ini dan telah tercerahkan. Karena seseorang tidak akan dapat mengajari orang lain untuk berenang jika ia sendiri tidak tahu bagaimana cara berenang! Jika ada seseorang mengaku dapat mengajari Anda cara berenang, sedangkan ia sama sekali tak pernah melihat samudera, tinggalkan lah ia dalam khayalannya dan lanjutkan perjalanan Anda. Seorang penggembala tidak akan dapat mengajari Anda cara berenang. Anda mesti mencari panduan yang tepat dari sumber yang tepat.

Ketika pemandu yang benar ditemukan dan petunjuknya didengar dan diterapkan, pemurnian jiwa akan terjadi dan kesadaran akan bangkit. Proses yang berat ini akan berlanjut hingga ketundukan sempurna dan kesatuan dengan Yang Esa tercapai. Pada titik ini, ia akan menyadari bahwa ia ‘Islam’. Ia akan menjadi ‘Abdullah’ yakni ‘abdi/pelayan Allah’ dan mencerminkan makna-makna Allah pada cermin kefanaan dirinya yang baru digosok dan disucikan.

Penyucian sejati mengorbankan segalanya. Ia akan menuntut pengorbanan atas segala sesuatu yang kita miliki. Jika kita tak hendak untuk menyerahkan semua yang kita miliki dalam pencarian ini, mungkin lebih baik tidak menapaki jalan ini sama sekali, karena ini merupakan perjalanan yang penuh dengan perjuangan, rasa sakit, kesusahan dan penderitaan. . . Jalan ini bisa mengorbankan apapun yang kita miliki, apapun yang kita cintai, identitas kita dan segala sesuatu yang melekat padanya!

Jika kita mengaku telah sampai pada tantangan ini, namun menangis dalam kesedihan atau menyalahkan orang lain ketika mengalami kehilangan, bukan hanya tidak akan mendapatkan apa yang telah hilang, kita pun bahkan semakin cenderung menyalahkan orang lain.

Nabi Muhammad (saw) mengatakan:

“Jangan mengkritik; engkau tidak akan mati hingga mengalami apa yang dikritikkan itu.”

Jadi, jika kita menerima ilmu ini dan ingin mencapainya, maka kita mesti mau untuk dibakar di neraka agar bisa masuk surga. Karena seseorang hanya dimurnikan dengan pembakaran! Seperti halnya emas dimurnikan dengan api. . . Seperti dikatakan ayat berikut:

“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang beriman jiwa mereka (nafs) dan harta mereka [dengan ganti] karena mereka akan mendapatkan Surga.” (Qur’an 9:111)

Catat bahwa ayat ini mengatakan ‘jiwa’ dan ‘harta’!

Mari kita evaluasi kata-kata ini dalam cakupan yang luas.

Bagaimana kita bisa mengejar kesenangan-kesenangan jasmani, dengan membiarkan dajjalnya ego sepenuhnya berkuasa, dan pada saat yang sama menyatu dengan Yang Esa? Jelas mustahil. Setan (ego) mengarahkan pikiran-pikiran kita kepada semua jalan ‘buntu’, dan membuat kita berpikir bahwa ada jalan tembus padanya, Namun sayangnya itu hanyalah perangkap ego; hanyalah prasangka belaka!

Sejarah dipenuhi oleh tokoh-tokoh yang secara spiritual tercerahkan. Lihatlah kehidupan mereka. Manakah di antara mereka yang hidup tanpa penderitaan? Hidup mereka penuh dengan pemurnian dan pengorbanan!

Kita hanya mendapatkan sejauh apa yang kita lepaskan dari identitas kita. Banyaknya pengorbanan, yang kita keluarkan dari ‘diri’ kita, merupakan derajat realitas sejati yang dapat kita capai. Jadi, sebelum sistemnya sendiri yang pasti dan memaksa merenggut harta, apa yang kita miliki, yang kita cintai, dll., mengapa tak kita tinggalkan semua itu, pertama-tama dengan melepaskan mereka dari ego dan identitas kita, dan dengan menyucikan hati kita dari kepemilikan dan keterikatan terhadap materi?

Pada kenyataannya, setiap orang melewati pengalaman yang serupa dalam kehidupan; setiap orang merasakan sedihnya kehilangan, misalnya. Namun beda antara seseorang dengan orang yang secara sadar berkeinginan untuk dibangkitkan adalah bahwa orang yang kemudian ini mengetahui hikmat di baliknya, dan karenanya menghadapinya dengan ketenangan dan kepasrahan. Orang yang kemudian ini tahu mengapa ia terbakar dan menderita, dan memilih menjalaninya dengan ketenangan, sementara orang yang pertama tadi malah menambah rasa sakitnya dengan terus mengecam dan mengeluh.

Namun ini bukannya syarat untuk masuk surga!

Untuk menyatu dengan Allah, seseorang mesti membangkitkan kesadarannya!

Seseorang bisa saja mengklaim: “Masuk surga saja sudah cukup baik bagiku”, namun ini telah ditentukan pada hari ke 120 setelah pembuahan, ketika kita ditetapkan sebagai seorang yang beruntung (said) atau yang merugi (shaqi).

Jika kita ditetapkan sebagai orang yang beruntung, maka semua kebutuhan akan diberikan kepada kita selama hidup kita. Kita mestinya akan dianugrahi dengan pemahaman dan ilmu, haus akan pencarian, keimanan dan perwujudan amal, dan akhirnya membuahkan pintu-pintu surga.

Sebaliknya, jika kita telah ditetapkan sebagai orang yang merugi, maka:

“Allahlah pemilik segala sesuatu; Dia Maha Bijaksana dan bebas melakukan apa yang dikehendakiNya. Tak seorangpun berhak untuk menanyakan kehendakNya!”

Siapa dan apa yang independen, terlepas, dari Allah sehingga boleh bertanya mengenai kewenanganNya?

Jika engkau mengaku menginginkan Realitas, maka mesti berkeinginan untuk membayar harganya, kawan!

Bagaimana jika Anda mengklaim seperti ini, namun masih menipu diri dengan terus mengikuti hawa nafsu dalam kesenangan diri?

Jangan terhijab!

Ketika Nabi Musa pergi menemui Tuhannya, Allah memanggilnya dari api:

“Aku Allah Tuhanmu, ya Musa!”

Jadi jangan terkejut jika api menyapa Anda! Api akan membakar Anda!

Jangan terhijab darinya ketika ia menyapa Anda dari tempat yang membakar Anda! 

Apa yang membakar Anda adalah ‘api’, bukannya nyala api yang nampak di mata Anda. Dan selama Anda terbakar, maka Anda berada dalam neraka pribadi Anda. Dunia ini merupakan bagian dari neraka juga. Selama Anda terus menjalani kehidupan duniawi, Anda akan tetap hidup di neraka.

Namun demikian, jika anda masih mengklaim ingin mencapai Allah, ketahuilah bahwa ‘Anda’ tak kan pernah mencapai Allah.

Jangan mengikuti langkah-langkah mereka yang menjanjikan kehidupan duniawi yang indah. Ikutilah mereka yang akan “Membunuh Anda sebelum kematian”; jangan sampai Anda ditegur dengan perkataan “Engkau tak boleh menemuiku!”

Mereka yang memberi Anda kehidupan duniawi yang gemerlap akan bertindak demikian hingga Anda masuk liang lahat. Sedangkan pada akhirnya, kematian Anda tak terhindarkan.

Teman sejati Anda adalah mereka yang akan membunuh Anda sebelum ajal, karena ‘mereka yang beriman menyatu dengan Allah melalui kematian’ di saat dimana Anda akan berseru seperti halnya Rumi:

“Jangan berduka di pemakamanku! Bermain dan bergembiralah! Karena aku kan menyatu dengan Kekasihku!”

Sungguh, teman sejatimu adalah dia yang akan membunuh identitas palsumu, diri ilusimu, dan menyelamatkanmu dari ilusi keterpisahanmu, sehingga Anda dapat menyatu dengan sumber Anda.

Carilah kematian ini, dan carilah teman sejati ini, sehingga Anda dapat memulai kehidupan sejati!

Kematian, seperti halnya neraka, adalah rahmat. Rahmat dari Yang Rahman tersembunyi dalam penderitaan, seperti halnya kesembuhan tersembunyi dalam pahitnya obat.

Kematian hanya menakutkan mereka yang terikat dengan dunia, karena kematian bagi mereka berarti kehilangan segala yang mereka anggap memilikinya. Namun jika kita gagal menguasai rasa takut ini saat kini, di masa depan rasa takut ini akan semakin hebat.

Mari kawan . . .mari menyambut kematian dengan keinginan dan cinta demi Allah sehingga Anda akan dihidupkan dengan Yang Maha Hidup (Hayy) dan Yang Maha Kekal (Baqi).

Matilah sekarang kawan, matilah sekarang dan hidup untuk selamanya. . .




 
15 Topik ini telah dibahas secara detil dalam buku saya Mengenal Diri.